KPPU Nilai Surat Persetujuan Impor Bisa Atasi Mahalnya Harga Gula

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menilai komoditas bahan pokok gula menjadi perhatian utama yang ditangani saat ini. Hal itu lantaran persoalan mahalnya harga gula terjadi cukup pelik di masyarakat, ditambah situasi masa pandemi Covid 19. "Di pasar, pelaku usaha ritel melakukan pembatasan jumlah pembelian gula oleh konsumen. Bahan pokok lain umumnya belum menunjukkan lonjakan harga yang sangat tinggi (excessive)," kata anggota KPPU Guntur S Saragih, Rabu (8/4/2020).

Menurutnya, lonjakan harga gula terjadi karena permasalahan data produksi nasional yang kurang tepat, hambatan logistik di masa wabah Covid 19, dan perilaku pelaku usaha sendiri. Guntur menjelaskan, kebutuhan gula nasional hingga lebaran tahun ini dapat mencapai 1,14 juta ton. Dari jumlah tersebut, sekitar 650 ribu ton dipenuhi stok akhir tahun lalu, sementara sisanya (sekitar 500 ribu ton) diperoleh dari impor.

"Untuk itu, waktu pengeluaran surat persetujuan impor menjadi penting dalam mempengaruhi harga di pasar," ucapnya. Kementerian Perdagangan pada 3 Maret 2020 telah mengeluarkan Surat Perizinan Impor (SPI) sebesar 438,8 ribu ton untuk gula kristal merah yang digunakan sebagai bahan baku gula kristal putih untuk konsumsi. “Kami menilai seharusnya jumlah quota impor gula dalam persetujuan impor seyogyanya cukup. Namun lantaran pengeluarannya agak terlambat, baru sedikit yang terealisasikan. Sebaiknya Pemerintah mengeluarkan izin tersebut lebih awal, karena besaran kebutuhan telah diketahui sejak awal tahun”, jelas Guntur.

KPPU berharap realisasi tersebut terjadi dalam waktu secepatnya, untuk menghindari mahalnya harga gula dan mengantisipasi kerugian petani tebu yang akan melakukan panen pada semester kedua. Jika impor tertunda dan terjadi pada saat panen tebu petani, mereka akan terdampak akibat jatuhnya harga jual tebu di tingkat petani.